Kamis, 06 Juni 2013

Living with Endometriosis: Second Opinion

Sedikit lega ketika mengetahui masalah dalam gangguan reproduksiku adalah adenomiosis, disebut juga endometriosis internal. Namun masalah ini masih membuatku sedikit murung, mumet, banyak membaca dan berpikir. Bagaimana mengobatinya? Setelah mengetahui alternatif pengobatan yang diberikan, aku sampaikan bahwa aku tidak akan memutuskan sekarang, dan akan berpikir lebih dalam lagi. Aku ingin mendapatkan second atau third opinion dari dokter yang lain, dan bacaan atau obrolan untuk referensi.

Pilihan Pengobatan yang Tidak Menyenangkan
Saat pemeriksaan, dokter Budayasa memberi 3 alternatif pengobatan:
1. Injeksi tapros, 4-6 bulan. Yang katanya sekali injeksi sekitar 1,2 juta (hasil browsing dan info seorang teman mengatakan harganya bisa mencapai 1,5 juta)
2. Injeksi danasol, yang merupakan produk second gradenya tapros. Lebih murah, namun terlalu banyak efek sampingnya.
3. Pil untuk penyeimbang hormon, dikonsumsi sehari-hari. Yang katanya hanya seharga 250 ribu.
Aku tidak memperoleh banyak informasi dari dokter mengenai efek samping dari pengobatan ini. Hanya dikatakan bisa menimbulkan jerawat, nafsu makan meningkat, dan kadang menjadi lebih maskulin. 

Dari bacaan dan perbincangan, rata-rata pengobatan tersebut memberi efek samping yang tidak menyenangkan; kepanasan, mudah berkeringat, nafsu makan meningkat, jerawatan, moody, dan tubuh tidak fit. Yang lebih tidak menyenangkan lagi, sudah merasakan berbagai siksaan saat masa pengobatan, basically ketiga alternatif pengobatan tersebut tidak menyembuhkan, hanya membuat adenomiosis mengecil. Setelah pengobatan berhenti, adenomiosis akan muncul kembali. Belakangan aku tahu, bahwa saat menopouse, adenomiosis akan hilang dengan sendirinya. 

Second Opinion; Ada Endometriosis
Akhirnya, waktunya tiba aku mencari second opinion, bertepatan dengan kepulanganku ke Solo untuk peringatan 100 hari meninggalnya Ibu dan 40 hari meninggalnya Bapak. Sari membantuku mendaftarkan diri untuk pemeriksaan di Dr. Heru SpOG, yang katanya memang kondang di Solo, dan fokus pada penyakit reproduksi. Pemilihan dokter Heru ini berdasarkan rekomendasi Sari dan Mbak Sanie yang pernah menjadi pasien.

Tadinya aku berharap bisa bertemu dokter yang simpatik dan sabar melayani pertanyaan. Ternyata Dr Heru pun dokter yang cukup sibuk. Ketika aku banyak bertanya, katanya, "Cepat-cepat saja ya, pasien saya banyak." Sigh...

Namun hasil pemeriksaan Dr Heru memberikan hasil yang lebih dari Dr Budayasa. Hasil USG transvaginal menunjukkan bahwa aku juga mempunyai endometriosis, sebesar kurang lebih 3 cm. Disebut juga kista coklat. 
"Kenapa disebut kista coklat dokter?"
"Karena kalau diangkat terlihat warnanya coklat."
Sigh...
"Apakah berbahaya?"
"Tidak berbahaya."
Dan Dr Heru menyarankanku untuk kembali ke dokter Budayasa untuk mengkonsultasikan pengobatannya. Sigh... enggan rasanya aku memakai bentuk2 pengobatan tersebut.
"Apakah bisa memakai jamu? Atau mungkin akupunktur?"
"Tidak bisa. Mereka bilang mereka bisa menyembuhkan. Tapi itu semua bohong."
Sigh...
Tentang pengobatan itu sendiri, dokter Heru juga sempat mengatakan, bahwa itu akan membuat endometriosis mengecil dan tidak bertumbuh. Namun setelah 6-10 bulan kemudian, setelah tidak menjalani terapi hormonal, endometriosis akan tumbuh lagi.
"Baru hilang setelah menopouse dok?"
"Iya, tapi musti dilihat juga, saat menopouse endometriosisnya sudah sebesar apa."

Well, somehow aku tidak memperpanjang dengan pertanyaan lagi saat itu. Entah maksudnya apa. Apakah jika endometriosinya sudah diluar batas "normal", maka harus dioperasi?

Akhirnya aku pulang dengan kenyataan bahwa aku tetap harus memilih sebuah bentuk pengobatan. Apapun itu!

-- Bersambung --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar