Sumber gambar: http://carapedia.com/lirik/search/setelah-hujan-19914l.html
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Sapardi Djoko Damono, 1989
Bagi penggemar puisi, nama Sapardi Djoko Damono tentu tak asing lagi. Tak akan asing juga puisinya ini, juga puisi "Aku Ingin" yang seakan menjadi puisi wajib bagi para pasangan yang jatuh cinta. Pemakaian kata yang sederhana dengan makna yang mendalam, adalah kekuatan cipta puisi SDD.
Puisi ini selalu hadir dalam pikiranku setiap hadirnya hujan di bulan Juni. Pula Juni tahun ini. Namun dengan persepsi yang berbeda dibanding pertama kali mengenal puisi ini. Puisi ini tercipta 24 tahun lalu ketika Juni merupakan bulan kering tanpa hujan. Matahari bersinar terik. Debu beterbangan, daun-daun layu dan menguning. Hujan yang hadir terasa begitu istimewa, seperti anugrah kesegaran pada jiwa-jiwa yang haus dan letih. Aku ingat, pernah suatu ketika hujan turun di siang hari bulan Juni. Kegembiraanku meluap, hingga spontan aku keluar rumah dan menari bersama titik hujan. Pada saat itu kurasakan betapa istimewanya hujan bulan Juni, se-istimewa dia merahasiakan titiknya, seistimewa dia menghapus jejak kaki di jalan berdebu, seistimewa dia membiarkan yang tak terucap diserap akar pohon bunga.
Namun waktu berlalu. Bumi bergerak. Alam menyikapi perubahan lingkungan secara tak terkira. Dalam kurun 5 tahun terakhir, hujan bulan Juni bukan lagi hal yang istimewa. Lihat saja tahun ini. Mulai awal bulan hingga hari ini, hujan turun hampir tiap hari. Kadang lebat, kadang lebat sekali. Pagi, siang, sore, atau malam. Apa istimewanya hujan bulan Juni? Tak ada lagi yang rahasia. Tak ada jejak kaki yang dihapuskan. Dan akar pohon bunga pun sudah "kembung".
Sejak tanggal 1 hingga sekarang, setiap hari di bulan Juni, aku masih mengingat puisi SDD. Namun puisi itu terasa seperti sebuah mitos. Dongeng lama, catatan sejarah perubahan iklim global. Mengingat puisi itu, mengingat kegembiraan luar biasa yang kurasakan saat turun hujan di bulan Juni. Sebersit kegembiraan itu masih terasa, meski hanya nostalgia. Hujan bulan Juni lama-lama menjadi biasa.
Hmmm... jadi mikir, bagaimana dengan pranata mangsa, kalender musim orang Jawa. Atau sasih, kalender musim orang Bali. Mungkin bisa menjadi tulisan tersendiri...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar