Selasa, 18 Juni 2013

Living with Endometriosis: Ber-jamu dari Dokter Da Silva


Resepsioni Klinik:
dengan susunan jamu di belakangnya
Dalam kasus endometriosis yang belum perlu operasi, aku sudah menuliskan pilihan-pilihan pengobatan  dalam dua tulisan: Second Opinion dan Endometriosis dan Adenomiosis. Pengobatan tersebut sifatnya mengontrol keseimbangan hormonal yang memicu terbentuknya endometrium. Yaitu memperkecil produksi hormon estrogen. Dengan cara ini, endometriosis tidak akan mendapat "makanan" sehingga dengan sendirinya akan mengecil atau tidak bertumbuh. Aku ingat dokter Budayasa mengatakan bahwa pengobatan endometriosis dimaksudkan untuk memberi kondisi menopouse pada pasien, sehingga endometriosis tidak bertumbuh.

Mengingat banyaknya efek samping pengobatan hormonal, seperti yang kusinggung dalam dua tulisan diatas, dan mengingat efek temporary dalam pengobatan ini. Aku memutuskan untuk mencari pengobatan alternatif. Aku sadar tidak ada kepastian dalam pengobatan alternatif, seperti tidak adanya kepastian dalam pengobatan modern. Namun aku memastikan jalan ini sebagai jalan dengan resiko minimal.

Aku sendiri pengalaman mendapatkan obat yang tidak sesuai dengan masalahku, dari Dr Budayasa. That is one thing to consider. Second consideration, aku tidak ingin mengalami efek samping dari pengobatan hormonal. Third consideration, aku selalu benci minum obat. Hehehehe. Fourth consideration, ada pengalaman saudara dan sahabat, yang menunjukkan bahwa pengobatan herbal, jamu, bukan pilihan yang buruk. Bahkan mungkin pilihan yang baik, karena kedua orang ini membuktikan efek yang baik dari pengobatan herbal.

Dari pertimbangan ini, aku bertemu dokter Da Silva, seorang dokter nyentrik yang membuka klinik pengobatan untuk orang miskin di Desa Gambretan, Cangkringan, Pakem, Sleman. Dokter ini tidak memakai obat-obatan kimia, namun memakai jamu-jamuan alami untuk segala macam penyakit.

Saat itu aku diantar masku, yang juga hendak mencari jamu untuk gagal ginjal yang dideritanya. Sesungguhnya aku tertegun ketika memasuki kliniknya. Tampak sangat sederhana, miskin, dan sangat tidak menunjukkan kualitas medis sebuah klinik. Kudengar ibu-ibu di bagian resepsionis dan pengracik jamu saling bercanda ceria dengan sang dokter, tak mampu menetralkan suasana hatiku. Aku ragu, betulkan ini yang akan kulakukan? Namun segera kutetapkan hati, mengingat kesaksian masku sendiri yang sudah membuktikan. Kubisikan pada diri sendiri, "Imanmu yang akan menyembuhkan."

Kemasan yang sederhana dan kertas resep yang ditulis tangan.
Salah Satu Jamu:
Kemasan yang sederhana, dan resep yang ditulis tangan.
Dokter memeriksaku dengan cepat, tak banyak tanya, sementara aku pun masih sedikit terkaget, sehingga tak banyak tanya pula. Apalagi saat itu dokter tergesa-gesa pergi menjemput pasien di RS Bethesda Yogya. Diberinya aku empat macam jamu: untuk lambung, untuk jantung, untuk masalah menstruasi, dan untuk capek-capek. Empat macam jamu yang diminum 3 kali sehari selama total 10 hari.

Mengapa empat macam? Mengapa aku diberi jamu yang berhubungan dengan jantung dan
capek-capek segala? Aku tidak tahu secara pasti. KArena aku belum menanyakan. Aku hanya  bisa menganalisa berdasarkan pengetahuanku yang terbatas. Namun aku tak berani menuliskannya disini, ntar dikira ngawur. Hahahaha...

Selain meminum jamu-jamu tersebut, berdasarkan pengetahuan dari internet, aku memutuskan untuk melakukan diet. Diet ini terasa lumayan berat: No wheat, no fine sugar, no fried food, no red meat, no poultry (kecuali organic), no eggs (kecuali organic), no soy -- bahkan tahu tempe pun, no coffee, dan no dairy product.  Wow! Akan kutuliskan pada bab berikutnya tentang diet ini.

-- Bersambung --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar