Selasa, 18 Juni 2013

Living with Endometriosis: Ber-jamu dari Dokter Da Silva


Resepsioni Klinik:
dengan susunan jamu di belakangnya
Dalam kasus endometriosis yang belum perlu operasi, aku sudah menuliskan pilihan-pilihan pengobatan  dalam dua tulisan: Second Opinion dan Endometriosis dan Adenomiosis. Pengobatan tersebut sifatnya mengontrol keseimbangan hormonal yang memicu terbentuknya endometrium. Yaitu memperkecil produksi hormon estrogen. Dengan cara ini, endometriosis tidak akan mendapat "makanan" sehingga dengan sendirinya akan mengecil atau tidak bertumbuh. Aku ingat dokter Budayasa mengatakan bahwa pengobatan endometriosis dimaksudkan untuk memberi kondisi menopouse pada pasien, sehingga endometriosis tidak bertumbuh.

Mengingat banyaknya efek samping pengobatan hormonal, seperti yang kusinggung dalam dua tulisan diatas, dan mengingat efek temporary dalam pengobatan ini. Aku memutuskan untuk mencari pengobatan alternatif. Aku sadar tidak ada kepastian dalam pengobatan alternatif, seperti tidak adanya kepastian dalam pengobatan modern. Namun aku memastikan jalan ini sebagai jalan dengan resiko minimal.

Aku sendiri pengalaman mendapatkan obat yang tidak sesuai dengan masalahku, dari Dr Budayasa. That is one thing to consider. Second consideration, aku tidak ingin mengalami efek samping dari pengobatan hormonal. Third consideration, aku selalu benci minum obat. Hehehehe. Fourth consideration, ada pengalaman saudara dan sahabat, yang menunjukkan bahwa pengobatan herbal, jamu, bukan pilihan yang buruk. Bahkan mungkin pilihan yang baik, karena kedua orang ini membuktikan efek yang baik dari pengobatan herbal.

Dari pertimbangan ini, aku bertemu dokter Da Silva, seorang dokter nyentrik yang membuka klinik pengobatan untuk orang miskin di Desa Gambretan, Cangkringan, Pakem, Sleman. Dokter ini tidak memakai obat-obatan kimia, namun memakai jamu-jamuan alami untuk segala macam penyakit.

Saat itu aku diantar masku, yang juga hendak mencari jamu untuk gagal ginjal yang dideritanya. Sesungguhnya aku tertegun ketika memasuki kliniknya. Tampak sangat sederhana, miskin, dan sangat tidak menunjukkan kualitas medis sebuah klinik. Kudengar ibu-ibu di bagian resepsionis dan pengracik jamu saling bercanda ceria dengan sang dokter, tak mampu menetralkan suasana hatiku. Aku ragu, betulkan ini yang akan kulakukan? Namun segera kutetapkan hati, mengingat kesaksian masku sendiri yang sudah membuktikan. Kubisikan pada diri sendiri, "Imanmu yang akan menyembuhkan."

Kemasan yang sederhana dan kertas resep yang ditulis tangan.
Salah Satu Jamu:
Kemasan yang sederhana, dan resep yang ditulis tangan.
Dokter memeriksaku dengan cepat, tak banyak tanya, sementara aku pun masih sedikit terkaget, sehingga tak banyak tanya pula. Apalagi saat itu dokter tergesa-gesa pergi menjemput pasien di RS Bethesda Yogya. Diberinya aku empat macam jamu: untuk lambung, untuk jantung, untuk masalah menstruasi, dan untuk capek-capek. Empat macam jamu yang diminum 3 kali sehari selama total 10 hari.

Mengapa empat macam? Mengapa aku diberi jamu yang berhubungan dengan jantung dan
capek-capek segala? Aku tidak tahu secara pasti. KArena aku belum menanyakan. Aku hanya  bisa menganalisa berdasarkan pengetahuanku yang terbatas. Namun aku tak berani menuliskannya disini, ntar dikira ngawur. Hahahaha...

Selain meminum jamu-jamu tersebut, berdasarkan pengetahuan dari internet, aku memutuskan untuk melakukan diet. Diet ini terasa lumayan berat: No wheat, no fine sugar, no fried food, no red meat, no poultry (kecuali organic), no eggs (kecuali organic), no soy -- bahkan tahu tempe pun, no coffee, dan no dairy product.  Wow! Akan kutuliskan pada bab berikutnya tentang diet ini.

-- Bersambung --

Sabtu, 15 Juni 2013

Hujan Bulan Juni, Puisi yang (Telah) Menjadi Mitos Sejarah



HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu                         

Sapardi Djoko Damono, 1989

(Sejenak keluar dari serial tulisan Living with Endometriosis)

Bagi penggemar puisi, nama Sapardi Djoko Damono tentu tak asing lagi. Tak akan asing juga puisinya ini, juga puisi "Aku Ingin" yang seakan menjadi puisi wajib bagi para pasangan yang jatuh cinta. Pemakaian kata yang sederhana dengan makna yang mendalam, adalah kekuatan cipta puisi SDD.

Puisi ini selalu hadir dalam pikiranku setiap hadirnya hujan di bulan Juni. Pula Juni tahun ini. Namun dengan persepsi yang berbeda dibanding pertama kali mengenal puisi ini. Puisi ini tercipta 24 tahun lalu ketika Juni merupakan bulan kering tanpa hujan. Matahari bersinar terik. Debu beterbangan, daun-daun layu dan menguning. Hujan yang hadir terasa begitu istimewa, seperti anugrah kesegaran pada jiwa-jiwa yang haus dan letih. Aku ingat, pernah suatu ketika hujan turun di siang hari bulan Juni. Kegembiraanku meluap, hingga spontan aku keluar rumah dan menari bersama titik hujan. Pada saat itu kurasakan betapa istimewanya hujan bulan Juni, se-istimewa dia merahasiakan titiknya, seistimewa dia menghapus jejak kaki di jalan berdebu, seistimewa dia membiarkan yang tak terucap diserap akar pohon bunga.

Namun waktu berlalu. Bumi bergerak. Alam menyikapi perubahan lingkungan secara tak terkira. Dalam kurun 5 tahun terakhir, hujan bulan Juni bukan lagi hal yang istimewa. Lihat saja tahun ini. Mulai awal bulan hingga hari ini, hujan turun hampir tiap hari. Kadang lebat, kadang lebat sekali. Pagi, siang, sore, atau malam. Apa istimewanya hujan bulan Juni? Tak ada lagi yang rahasia. Tak ada jejak kaki yang dihapuskan. Dan akar pohon bunga pun sudah "kembung".

Sejak tanggal 1 hingga sekarang, setiap hari di bulan Juni, aku masih mengingat puisi SDD. Namun puisi itu terasa seperti sebuah mitos. Dongeng lama, catatan sejarah perubahan iklim global. Mengingat puisi itu, mengingat kegembiraan luar biasa yang kurasakan saat turun hujan di bulan Juni. Sebersit kegembiraan itu masih terasa, meski hanya nostalgia. Hujan bulan Juni lama-lama menjadi biasa.

Hmmm... jadi mikir, bagaimana dengan pranata mangsa, kalender musim orang Jawa. Atau sasih, kalender musim orang Bali. Mungkin bisa menjadi tulisan tersendiri...

Kamis, 13 Juni 2013

Living with Endometriosis: Endometriosis dan Adenomiosis

Disini aku akan menulis lebih banyak tentang Adenomiosis dan Endometriosis.
Seperti sudah kusinggung sebelumnya, Adenomiosis adalah endomiosis internal. Sedang yang sering disebut endometriosis saja adalah endometriosis external, disebut juga kista.

Endometriosis (Secara Umum)
Endometriosis adalah gangguan dimana jaringan yang menyerupai dinding rahim (endometrium) tumbuh di luar rahim. Seperti diketahui, secara normal endometrium tumbuh di lapisan dalam dinding rahim, mengkondisikan rahim menjadi tempat yang nyaman untuk terjadinya pembuahan. Saat pembuahan tidak terjadi, endometrium akan luruh, dan saat itulah terjadi menstruasi. Dalam kasus endometriosis ini, endometrium tumbuh di tempat yang salah, maka endometrium akan tertimbun di tempat tersebut dan lama kelamaan akan menebal/membesar. Dan karena tumbuh di tempat yang salah, endometrium tidak mempunyai jalan keluar saat peluruhan. Inilah yang menyebabkan rasa nyeri tak terkira saat menjelang atau selama menstruasi.

Endometriosis External
Endometriosis ini bisa terletak di saluran telur, indung telur, belakang rahim, dekat vagina, atau bahkan di usus, paru-paru, empedu, dan otak.

Adenomiosis
Sementara itu adenomiosis adalah endometriosis yang tumbuh di dalam jaringan otot rahim. Oleh karena itu disebut endometriosis internal. Adenomiosis terlihat dalam gambar dibawah ini.




Penyebab
Penyebab endometriosis belum diketahui secara pasti. Ada beberapa teori. Salah satunya, endometriosis muncul karena kelain genetik yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu resiko mengidap endometriosis akan lebih tinggi pada perempuan yang ibu/nenek/tante/saudara perempuannya mengidap endometriosis. Salah dua karena gangguan sistem kekebalan tubuh, sehingga jaringan endometrium yang tersesat tidak bisa dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh. Teori lain yaitu teori arus haid yang mengalir balik. Di sisi lain, endometriosis dipicu oleh ketidak seimbangan hormon, yaitu rendahnya progeteron dan rasio estrogen yang terlalu tinggi terhadap progesteron-lah yang memicu masalah haid.

Gejala
Gejala umum yang dialami penderita endometriosis adalah:
1. Nyeri/kram sebelum yang tak terkira di seputar perut dan panggul sebelum periode, awal periode atau selama periode menstruasi. Ibaratnya biasa sakit tapi masih bisa ditahan, atau dihantam dengan panadol atau feminax, sakit yang ini tidak mempan lagi dengan panadol. Dalam kasus tertentu bisa membuat penderita pingsan.
2. Pendarahan yang berlebihan saat periode menstruasi, atau pendaratan (spotting) diantara siklus menstruasi. Jika pendarahan berlebihan, bisa menyebabkan anemia. Aku sendiri mengalami spotting sejak 4 tahun lalu. Namun akhir2 ini menjadi lebih banyak dan lama.
3. Jika endometriosis menutup saluran telur, bisa menyebabkan kemandulan
4. Jika terletak di belakang dinding rahim atau di seputar panggul, akan mengakibatkan sakit saat berhubungan seks
5. Jika terletak di usus besar atau saluran kencing, bisa menyebabkan pendarahan saat buang air besar
6. Sakit saat buang air kecil
7. Gangguan pencernaan (mencret) dan kelelahan

Data Penderita
1. Terjadi pada perempuan usia subur, yang sudah mengalami haid sampai menopouse. Pada umumnya  umur 20-30 tahun. Resiko akan meningkat hingga usia 40 tahun, dan menurun setelah usia tersebut.
2. Sering terjadi pada perempuan yang memutuskan untuk tidak punya anak atau tidak subur
3. Dialami oleh 10% wanita karir
4. Terjadi pada 10-15% perempuan subur usia 25 - 44 tahun
5. Terjadi pada 25 - 35% perempuan tak subur.

Pengobatan
Dalam kondisi endometriosis yang belum parah, pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat-obatan hormonal untuk menekan aktivitas ovarium dan menghambat tumbuhnya jaringan endometrium. Terapi hormonal ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu dengan pengawasan dokter. Dengan terapi ini, endometriosis akan mengecil. Namun akan dimungkinkan tumbuh lagi selagi masih mengalami menstruasi.
Dalam kasus endometriosis yang sudah parah, kista yang menyebar dan membesar, menimbulkan pendarahan yang terus-menerus sehingga berakibat anemia, pembedahan (laparoskopi) dan pengangkatan harus dilakukan. Untuk kasus adenomiosis, resiko terburuk adalah mengangkat rahim penderita (histerektomi). Karena adenomiosis internal berada dalam lampisan dinding rahim, sehingga operasi dilakukan dengan mengangkat rahim penderita. Sigh...

Well, itulah secara singkat endometriosis. Sebenarnya penyakit ini tidak berbahaya, tapi mengganggu dan menjengkelkan. Dalam kasus tertentu, endometriosis juga menghalangi perempuan untuk dapat hamil dan melahirkan.

--- Bersambung ---

Kamis, 06 Juni 2013

Living with Endometriosis: Second Opinion

Sedikit lega ketika mengetahui masalah dalam gangguan reproduksiku adalah adenomiosis, disebut juga endometriosis internal. Namun masalah ini masih membuatku sedikit murung, mumet, banyak membaca dan berpikir. Bagaimana mengobatinya? Setelah mengetahui alternatif pengobatan yang diberikan, aku sampaikan bahwa aku tidak akan memutuskan sekarang, dan akan berpikir lebih dalam lagi. Aku ingin mendapatkan second atau third opinion dari dokter yang lain, dan bacaan atau obrolan untuk referensi.

Pilihan Pengobatan yang Tidak Menyenangkan
Saat pemeriksaan, dokter Budayasa memberi 3 alternatif pengobatan:
1. Injeksi tapros, 4-6 bulan. Yang katanya sekali injeksi sekitar 1,2 juta (hasil browsing dan info seorang teman mengatakan harganya bisa mencapai 1,5 juta)
2. Injeksi danasol, yang merupakan produk second gradenya tapros. Lebih murah, namun terlalu banyak efek sampingnya.
3. Pil untuk penyeimbang hormon, dikonsumsi sehari-hari. Yang katanya hanya seharga 250 ribu.
Aku tidak memperoleh banyak informasi dari dokter mengenai efek samping dari pengobatan ini. Hanya dikatakan bisa menimbulkan jerawat, nafsu makan meningkat, dan kadang menjadi lebih maskulin. 

Dari bacaan dan perbincangan, rata-rata pengobatan tersebut memberi efek samping yang tidak menyenangkan; kepanasan, mudah berkeringat, nafsu makan meningkat, jerawatan, moody, dan tubuh tidak fit. Yang lebih tidak menyenangkan lagi, sudah merasakan berbagai siksaan saat masa pengobatan, basically ketiga alternatif pengobatan tersebut tidak menyembuhkan, hanya membuat adenomiosis mengecil. Setelah pengobatan berhenti, adenomiosis akan muncul kembali. Belakangan aku tahu, bahwa saat menopouse, adenomiosis akan hilang dengan sendirinya. 

Second Opinion; Ada Endometriosis
Akhirnya, waktunya tiba aku mencari second opinion, bertepatan dengan kepulanganku ke Solo untuk peringatan 100 hari meninggalnya Ibu dan 40 hari meninggalnya Bapak. Sari membantuku mendaftarkan diri untuk pemeriksaan di Dr. Heru SpOG, yang katanya memang kondang di Solo, dan fokus pada penyakit reproduksi. Pemilihan dokter Heru ini berdasarkan rekomendasi Sari dan Mbak Sanie yang pernah menjadi pasien.

Tadinya aku berharap bisa bertemu dokter yang simpatik dan sabar melayani pertanyaan. Ternyata Dr Heru pun dokter yang cukup sibuk. Ketika aku banyak bertanya, katanya, "Cepat-cepat saja ya, pasien saya banyak." Sigh...

Namun hasil pemeriksaan Dr Heru memberikan hasil yang lebih dari Dr Budayasa. Hasil USG transvaginal menunjukkan bahwa aku juga mempunyai endometriosis, sebesar kurang lebih 3 cm. Disebut juga kista coklat. 
"Kenapa disebut kista coklat dokter?"
"Karena kalau diangkat terlihat warnanya coklat."
Sigh...
"Apakah berbahaya?"
"Tidak berbahaya."
Dan Dr Heru menyarankanku untuk kembali ke dokter Budayasa untuk mengkonsultasikan pengobatannya. Sigh... enggan rasanya aku memakai bentuk2 pengobatan tersebut.
"Apakah bisa memakai jamu? Atau mungkin akupunktur?"
"Tidak bisa. Mereka bilang mereka bisa menyembuhkan. Tapi itu semua bohong."
Sigh...
Tentang pengobatan itu sendiri, dokter Heru juga sempat mengatakan, bahwa itu akan membuat endometriosis mengecil dan tidak bertumbuh. Namun setelah 6-10 bulan kemudian, setelah tidak menjalani terapi hormonal, endometriosis akan tumbuh lagi.
"Baru hilang setelah menopouse dok?"
"Iya, tapi musti dilihat juga, saat menopouse endometriosisnya sudah sebesar apa."

Well, somehow aku tidak memperpanjang dengan pertanyaan lagi saat itu. Entah maksudnya apa. Apakah jika endometriosinya sudah diluar batas "normal", maka harus dioperasi?

Akhirnya aku pulang dengan kenyataan bahwa aku tetap harus memilih sebuah bentuk pengobatan. Apapun itu!

-- Bersambung --

Rabu, 05 Juni 2013

Living with Endometriosis: Diagnosa

Akhirnya tiba saat aku memeriksakan diri ke dokter kandungan. Dr AAG Raka Budayasa SpOG adalah satu-satunya dokter kebidanan dan kandungan di Ubud. Ruang periksanya gabung dengan sebuah apotik, hanya dibatasi dengan sekat tripleks yang membentuk sebuah bilik. Ruang periksa yang jauh dari kelayakan sebuah tempat praktek seorang dokter, yang dalam imageku tempatnya harus bersih dan rapi.

Aku ikut antri bersama puluhan ibu-ibu muda dan beberapa ibu hampir setengah baya yang sepertinya menjelang menopoouse. Pemeriksaan berlangsung singkat, dokter menanyakan beberapa hal, termasuk apakah aku pernah mengalami keputihan parah. Kujawab tidak. Lalu dokter melakukan USG abdonal. Semuanya terlihat normal, tak terlihat gumpalan-gumpalan mencurigakan. Hanya dibilang aku tak subur, estrogen dan progesteronku turun. Tumor, miom ataupun kista tidak ditemui.

Lalu dokter memberi obat yang menurutku bersifat temporary hanya mengobati gejala yang kukeluhkan: pendarahan dan bau. Diberinya aku antibiotik dan obat yang menghentikan pendarahan. Bodohnya aku, semua kuminum juga. Meski aku tahu itu tidak mengatasi masalah yang sebenarnya belum teridentifikasi. Kemudian aku diminta untuk memeriksakan diri lagi saat datangnya menstruasi.

Anovulasi
Saat menstruasi, aku kembali ke dokter tersebut. Setelah beberapa tanya jawab, dokter mendiagnosa bahwa aku mengalami anovulasi. Anovulasi sendiri adalah luruhnya endometrium (lapisan yang membentuk/menyelimuti dinding rahim) sebagai darah menstruasi sebelum masa ovulasi/matangnya sel telur. Sebagaimana diketahui, endometrium selalu bertugas menyelimuti dinding rahim sebagai tempat yang nyaman untuk berkembangnya sel telur yang telah dibuahi. Namun jika sel telur matang, dan tidak terjadi pembuahan, maka dinding endometrium akan luruh, dan saat itulah terjadi menstruasi. Anovulasi terjadi karena rendahnya hormon estrogen dan progesteron yang mendukung pembentukan endometrium.

Lalu diberinya aku cyclo progynova. Diminum sejak hari berikutnya hingga 21 hari. Setelah itu menstruasi akan datang. Selesai menstruasi aku diminta datang lagi.
"Coba dilihat dulu bagaimana hasilnya. Setelah selesai menstruasi saya akan periksa lagi apakah memang benar itu atau ada sebab lain. Saya akan lakukan USG dari vagina, agar pemeriksaan lebih akurat."
Aku menganggukkan kepala.
"Atau mau dilakukan USG transvaginal sekarang?"
"Jangan dokter, saya masih menstruasi, risih rasanya." Meski aku tahu, sebenarnya itu bisa dilakukan, tapi kok rasanya risih membayangkan diri ini masih pakai pampers yang berdarah, lalu dilepas, lalu vagina dimasuki alat yang panjang dan keras. Sigh.

Sampai di rumah pikiranku mulai gelisah. Kok sepertinya aku menjadi kelinci percobaan dokter saja? Pemeriksaan dan pengobatan pertama tak ada efeknya. Pemeriksaan kedua, aku masih harus "dicobai" dengan obat yang lain. Melalui internet (thanks God for internet!) aku mencoba mengetahui apa itu anovulasi dan apa itu cyclo progynova yang diresepkan. Aku tak yakin bahwa masalahku ini karena anovulasi melihat berbagai ciri-ciri anovulasi yang kubaca di internet. Sementara, cyclo progynova sendiri adalah obat yang biasa dipakai untuk perempuan dalam mengatasi masa pra menopouse. Apakah aku akan menopouse? Kurasa belum saatnya dan tanda-tanda mengarah ke menopouse pun tidak jelas.

Aku sempat berpikir untuk melakukan cek mandiri untuk menguji apakah benar masalahku karena ketidaksuburan dan anovulasi. Caranya dengan mengukur suhu tubuh harian. Orang yang subur dan normal proses ovulasinya, suhu tubuhnya akan meningkat. Namun setelah lebih banyak membaca, berbincang dengan Andre--keponakan yang menjadi dokter--dan menimbang. Akhirnya dengan yakin kuputuskan untuk tidak mengkonsumsi obat itu. Kuputuskan juga untuk kembali ke dokter tersebut sesaat setelah menstruasiku berakhir.

Ohya, nota bene, Andre sempat menyinggung perlunya cek laboratorium untuk mengetahui kadar hormonal, agar memperoleh kepastian yang akurat, bukan sekedar prediksi. Meski aku belum terpikir untuk melakukan itu.

Adenomiosis
Well, pemeriksaan ketiga terjadilah. Pemeriksaan ini tertunda sehari. Hari sebelumnya aku sudah antri lama sekali, dan pamit meninggalkan pekerjaan karena pemeriksaan ini. Namun yang datang adalah dokter pengganti dan menolak memeriksa aku karena aku sudah "terprogram" oleh dokter Budayasa. Ok, akhirnya hari berikutnya aku datang lagi dan diperiksa dokter Budayasa. USG transvaginal pun dilakukan. Dari situ terlihat bahwa aku mempunyai adenomiosis, dinding rahim sebelah kanan yang menebal hingga 2 cm oleh endometrium yang masuk ke dalam otot dinding rahim.

-- Bersambung --

Senin, 03 Juni 2013

Living with Endometriosis; Prelude

Aku tidak mengira (akan) mengidap endometriosis. Sejak tahun pertama menstruasi, memang aku selalu merasa sakit saat datang bulan. Namun kukira itu wajar-wajar saja, toh banyak orang juga merasakan yang sama. Dan aku sendiri tak mau terganggu dengan itu. Ambil saja panadol atau analgetik lainnya, lep, langsung hilang sakitnya.

Namun empat tahun lalu ada keanehan lain. Aku selalu mengalami spotting pada masa antara dua siklus menstruasi. Kadang tidak hanya berupa bercak-bercak, tapi lebih mendekati bleeding. Jangka waktunya bisa 1-2 minggu. Bahkan sering kali selesai menstruasi, aku hanya bersih sekitar 1 minggu saja, lalu spotting terus hingga menstruasi berikutnya.

Dulu di Solo, aku sempat berkonsultasi dengan seorang dokter SpOG, tapi kemudian tidak aku teruskan gara-gara dokternya jutek, tidak cukup menjelaskan kepadaku tentang masalah yang aku punya. Meski aku dah cerewet bertanya, tapi dokter itu menjawab pendek-pendek saja. Dokter itu menyarankan aku mengikuti terapi hormonal. Disuruhnya aku minum obat yang diresepkan, lalu datang kembali saat obat itu habis, demikian seterusnya hingga sekitar 4 bulan. Namun aku hanya sekali saja datang, dan tak kembali. Pikirku, enak aja dia dapet uang, aku disuruh minum obat terus, tapi aku tidak diberi penjelasan yang layak. Huh!! %^&^%%(*&^ Dasar pasien ndableg!!!

Selanjutnya masalah ini tak terlalu aku perhatikan. Pernah bergossip dengan seorang teman tentang hal ini. Kebetulan dia seorang bidan. Dia malah mentertawakanku, "Pengen ngerti obate? Kawino!" Matek lah aku. Katanya hal semacam itu sering terjadi pada perempuan dewasa yang belum menikah. Struktur hormonnya tidak seimbang. Entah apa hubungannya tidak menikah dengan struktur hormon yang tidak seimbang. Sigh.

Setahun belakangan spotting ini semakin meresahkanku ketika datangnya semakin banyak dan lama, dan berbau busuk. Berbagai pikiran negatif menghantui. Mulai dari penyakit kelamin yang disebabkan berbagai bakteri, kista, miom, hingga kanker. Beberapa bulan belakangan ini pun, ketika menstruasi, sakitnya mulai tak ketulungan. Panadol satu tak mempan, selang sejam aku minum satu lagi, tetep tak mempan. Otomatis aku cuman bisa tergeletak lemas. Hari berikutnya aku akan mengerang kesakitan di tempat tidur. Seharian tak bisa melakukan apapun. Pernah dalam kondisi ini, tak ada makanan di rumah, atau tak mampu membuat makanan, sementara aku butuh energi juga untuk merasakan sakit, terpaksa aku harus telpon seorang teman minta dibelikan makanan.

Kondisi ini sungguh tidak menyenangkan. Otomatis aku tidak bisa kerja sama sekali dalam situasi seperti ini. Saking tidak menyenangkannya, aku sempat merasa nervous setiap kali menjelang menstruasi. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke dokter.

-- Bersambung --

Minggu, 28 April 2013

Prelude

Bagaimana menyampaikan rindu, pada yang tak terlihat dan teraba
Bagaimana mengatakan rindu, pada yang terasa menggebu
Karena waktu, tak mampu menghapus
kata itu


Rindu menulis, lama tak menulis, masih bisakah menulis, apa yang hendak ditulis, bagaimana menulis (lagi), untuk apa menulis. Ah, persetan dengan berbagai pertanyaan. Aku hanya ingin menulis. Karena aku rindu.